24 August 2010

Serial "Para Pencari Tuhan" Jilid 4


SCTV, setiap sahur dan maghrib, 2010. Produksi Citra Sinema.
Cerita & Skenario: Wahyu H. Sudarmo
Baca selengkapnya...

17 September 2008

Serial "Para Pencari Tuhan Jilid 2"

SCTV setiap pkl. 03:00 s/d 05:00 WIB



cerita & skenario
Wahyu H.S.
produser
Deddy Mizwar
R. Giselawati Wiranegara
sutradara
Kiki ZKr
Deddy Mizwar
director of photography
Acing H.B. Atap
art director
Jujun AJ
costume & make-up
Teh Lilis
tim kreatif
Arief Gustaman
Hakim Ahmad
Amiruddin Olland
HAMBA
Diding Jacob
Farrel M. Rizqy
Media Febriana
Veronica Grensilia
CAST
Deddy Mizwar - BANG JACK
Meilky Bajaj - CHELSEA
Aden Bajaj - BARONG
Isa Bajaj - JUKI
Zaskia A. Mecca - AYA
Agus Kuncoro - AZZAM
Akrie Patrio - USTADZ FERRY
Annisa Suci - HAIFA
Artta Ivano - KALILA
Asrul Dahlan - ASRUL
Mira Gloria - MIRA (Istri Asrul)
Udin Nganga - UDIN
Jarwo Kwat - PAK JALAL
Linda Leona - LINDA
Idrus Madhani - PAK RW
Hakim Ahmad - BENDAHARA
Joes Terpase - PAK RT
Bonte - BONTE
Yahyal - BANG UYAN
Deliana - MAK JUKI
Juk'eng - TUKANG SAYUR
Tora Sudiro - BAHA
Sheila Purnama Bulan - SHEILA
Dara KDI - DARA
Yanto Tampan - BANG ACIP
Sam Moses - SAM
Cece Kirani - KIRANI
Rani Bogor - MONIK
dll.
produksi
CITRA SINEMA
Baca selengkapnya...

25 December 2007

Konsistensi Karakter

photo by wahyu hs


Cerita bagus saja belum cukup tanpa tokoh-tokoh yang kuat. Merekalah yang akan menghidupkan plot cerita, memercikkan momen-momen berharga dalam setiap adegan, menjadi representasi pembaca/penonton, menjadikan cerita lebih "bernyawa". Tokoh-tokoh yang ditampilkan secara baik akan membuat cerita paling mustahil sekalipun menjadi masuk akal.



Tokoh cerita yang baik haruslah konsisten. Ini semua ada dalam konsep. Jika sang tokoh adalah seorang berkepribadian labil, maka tidak realistis jika ia tampil sebagai tokoh yang memiliki kemauan kuat dan fokus pada tujuan hidupnya. Hal ini akan tercermin pada sikap dan dialognya. Cinderella yang lembut, penurut, dan sensitif, menjadi sangat realistis ketika tidak bisa keluar dari tekanan ibu dan saudara-saudara tirinya. Ia tidak memiliki kekuatan seorang pemberontak. Ia harus diselamatkan oleh seorang pangeran. Bayangkan kalau tiba-tiba Cinderella melawan semua tekanan itu dengan sangat heroik bak seorang Wonder Woman dengan kata-kata pedas. Karakternya akan "rusak" dan malah jadi aneh. Atau, tokoh Abu Nawas yang mendadak mati akal dan kehabisan kata-kata. Kita akan kecewa karena Abu Nawas tidak tampil sebagaimana seharusnya. Dalam kehidupan nyata, memang, tokoh-tokoh seperti Abu Nawas tidak selalu tampil brilian. Namun, dalam kehidupan fiksi, yang notabene merupakan rekayasa sistematis seorang pengarang, tokoh cerita harus konsisten sesuai konsep agar mewakili tipikal tertentu secara utuh dalam sebuah plot cerita. Dengan demikian, cerita akan mengalir ke arah yang benar dengan cara yang baik berkat bantuan tokoh-tokohnya.

Penulis haruslah menjadi orang yang paling mengenal tokoh-tokohnya sendiri seolah mereka adalah anak-anaknya. Penulis harus faham cara berpikir sang tokoh, gaya bicaranya, sikap hidupnya, cita-citanya, kegemarannya, kelebihan dan kekurangannya. Jika ini sudah dikuasai, maka yang tampil bukan lagi karakter si penulis, melainkan karakter si tokoh itu sendiri. Tokoh dalam ceritamu akan menjadi "hidup" dan masuk akal.

Buatlah semacam curriculum vitae bagi tokoh-tokoh dalam cerita meskipun tidak semua item itu akan ditampilkan. Rancanglah (baik tertulis maupun dalam bayangan kamu) mulai dari jenis kelamin, umur, zodiak, pendidikan terakhir, level pergaulan, minat, gaya bicara, pandangan hidupnya, selera seksualnya, dan seterusnya sesuai kebutuhan. Kita bisa mengambil model dari manusia-manusia "nyata" di sekitar kita untuk kemudian dikembangkan atau dimampatkan sesuai kebutuhan. Setelah itu, kenali dan hayati tokoh tersebut secara sungguh-sungguh sehingga kamu bisa menampilkannya dengan realistis. Konsisten.

Contoh kasus: "Suatu saat dalam sebuah perdebatan filsafat, Abu Nawas kehabisan amunisi untuk membalas perkataan seseorang". Bagaimana menggambarkan kekalahan Abu Nawas, yang biasanya mahir berkelit dan berkilah? Apakah dia harus terdiam dengan wajah merah kemudian ngucluk pergi? Jelas, ini bukan karakter seorang Abu Nawas. Karena kemahiran Abu Nawas adalah berkata-kata, maka tokoh ini harus diberi dialog untuk mengiringi kekalahannya. Ada beberapa pilihan. Dia akan berkata dengan serius, "Hanya Allah yang tak terkalahkan, sedangkan aku manusia biasa." Kilah yang sangat baik, tapi tidak lucu. Padahal, Abu Nawas sudah "ditakdirkan" selalu lucu dalam situasi apapun. Beri dia dialog, misalnya, "Saya kurang mengerti maksud Anda. Coba katakan sekali lagi tapi dalam bahasa isyarat." Jelas, ini permintaan yang tidak masuk akal, tapi cukup untuk mempertahankan konsistensi karakter tokoh cerita kita.

Rancang dan garaplah tokoh ceritamu sebaik mungkin. Tokoh-tokoh dengan karakter yang konsisten akan menambah bobot kredibilitas sebuah cerita, sekaligus kredibilitas kamu sebagai seorang kreator. (***)
Baca selengkapnya...

09 December 2007

Flash Fiction: "SANG PRESIDEN"

"Maaf, Pak Presiden, saya tidak butuh mereka disini."

Sopan tapi tegas, cukup untuk membuat sang Presiden menyuruh para pengawalnya keluar. Ada sebuah kepribadian kuat yang tak bisa ditentang dari orang itu. Semacam wibawa dan kharisma aneh, yang membuat semua orang tertunduk patuh. Seandainya saja aku punya kharisma seperti itu, mungkin akan lebih mudah memerintah negeri ini, pikir sang Presiden. Ia benci situasi ini. Ia benci berada dalam posisi terpojok dan harus meminta bantuan. Tidak selayaknya seorang kepala negara membiarkan dirinya lemah tanpa perlindungan.

Oleh Wahyu HS



"Kalau bapak menuruti nasehat saya, bencana ini masih bisa dicegah."

"Saya memang bersalah," jawab sang Presiden dengan suara lirih. Ia sendiri tak percaya akan bisa mengucapkan kalimat pecundang seperti itu. Ia menghela napas tertahan dan menyandar lesu di kursinya. Tenaganya seakan menguap oleh sorot mata berwibawa orang itu yang penuh tuduhan. Serangkaian tuduhan yang tak dapat disangkal karena semua bukti telah terpampang dengan jelas di depan mata. Ia tak bisa membantah dan itulah yang membuat posisinya menjadi lemah seperti sekarang. Seandainya saja ia bisa memutar balik waktu dan memperbaiki semuanya. Tentu saja, itu tidak mungkin. Sudah terlambat. Waktu hanya berputar ke depan, membiarkan kesalahan menjadi penyesalan.

"Kesalahan bapak kali ini berakibat fatal. Bahkan jika seluruh menteri kabinet mau berkorban, tak pernah cukup untuk menutupi ini."

"Ooohh ...." keluh sang Presiden. "Jadi ... harus bagaimana?"

Orang itu menghela napas berat, memandang presidennya dengan prihatin sambil mengarahkan lampu ke mulut sang presiden yang terbuka.

"Gigi bapak harus dicabut. Tidak bisa ditambal lagi." [Fin]


Baca selengkapnya...

07 December 2007

"Menulis" Sebelum Menulis

photo by wahyu hs

Secara tumben (???), Komo diminta menulis skenario FTV oleh produser kenalannya. Sebagai penulis muda yang baru merintis karir, ia menyambutnya dengan semangat seorang Gen-X yang selalu heboh. Dia menyanggupi menyelesaikan naskah sepanjang 72 halaman itu dalam tempo empat hari. Mungkin, inilah batu loncatan karirku sebagai penulis, jawaban dari doa-doaku yang tak pernah putus, pikirnya. Tuhan memang menjawab doa Komo dengan memberikan job menulis, tapi ternyata Komo sendiri tidak meresponnya dengan layak. Apa yang terjadi?



Ini sudah hari ketiga Komo hanya duduk memelototi komputer sambil meremas rambut. Ibunya sampai khawatir dan berniat membawanya ke dokter, khawatir anak kesayangannya terkena serangan angin duduk atau apalah yang kira-kira mirip. Tinggal satu hari lagi menjelang deadline dan Komo belum menemukan ide cerita yang membuatnya bergerak menulis. Serba mampet dan macet. Setiap kali dapat satu paragraf, setiap kali pula dihapusnya sendiri. Profesi menulis mendadak jadi kutukan untuknya.
Menginjak hari ketujuh, sang produser FTV habis kesabaran dan memutuskan memakai naskah penulis lain. Kemana si Komo? Main PS di game zone bareng anak-anak sekolahan karena nggak tahu harus gimana lagi.

Sama dengan profesi lain, menulis butuh sistematika, metode, dan etos kerja serius. Salah satu unsur utama dari proses karang-mengarang adalah "ide". Menulis dengan dan tanpa ide akan membedakan antara seorang penulis dengan juru ketik. Penulis skripsi tentu berbeda dengan tukang ketik skripsi. Masalahnya, ide seringkali ngumpet ketika dibutuhkan. Bagaimana akan menulis tanpa kehadiran ide? Itu artinya, tidak tahu apa yang mesti ditulis.

"Itulah, sudah lapar baru cari kerja," kata ustadz saya suatu saat. Saya menghubungkan perkataan itu dengan etos kerja kita. Kita memang sering berdalih "kreativitas muncul di saat-saat kritis". Saya sendiri pernah mengalami keberuntungan seperti itu, tapi jarang. Dan itu tidak bisa diandalkan selalu ada. Justru dalam keadaan mumpung lagi kenyang dan bertenaga, kita sibuk mencari pekerjaan atau mempersiapkannya.

Buatlah rencana, konsep, atau sekedar coret-coretan, meskipun belum ada produser atau penerbit yang memesannya. Bukankah pekerjaan penulis adalah menulis? Dalam keadaan santai tanpa deadline, kita akan lebih bebas mengerahkan imajinasi dan kreativitas. Kita akan punya waktu untuk melakukan evaluasi dan revisi atas karya kita.

Yang juga penting adalah kebiasaan mencatat semua ide yang sering muncul tiba-tiba. Walaupun ide itu mungkin sekedar potongan dialog, adegan, kalimat bijak, karakter, script iklan, lirik, puisi, jargon, sinopsis, atau bahkan sekedar judul, catat. Sangat dianjurkan kita punya buku kecil untuk mencatat semua itu secara cepat dan mudah. Jangan mengandalkan daya ingat, karena dalam kehidupan jaman sekarang, terlalu banyak hal yang menuntut penggunaan memori di kepala kita. Saya punya beberapa ikat sobekan kertas dan buku kecil yang berisi segala macam ide, termasuk ide-ide yang tidak mungkin atau tidak layak diwujudkan. Pada waktu-waktu tertentu, saya salin semuanya di komputer, saya pilah berdasarkan kategori-kategori tertentu. Dan bila saatnya tiba, file-file itu akan sangat berguna membantu kita mulai menulis, tanpa perlu meremas rambut tiga hari tiga malam seperti si Komo. Beberapa kali saya "diselamatkan" oleh file-file kecil itu ketika sedang kesulitan menggarap dialog, menyusun plot, atau ide cerita.

Intinya adalah, kita akan selalu punya rencana dan nggak pernah mati gaya. Profesi menulis butuh disiplin tinggi dan kemauan kuat plus kreativitas yang didukung wawasan. Pekerjaan yang nggak main-main ini jangan dibiarkan macet hanya karena tanpa ide. Padahal, justru ide itu langkah awal. Penulis profesional biasanya mempersiapkan diri untuk menghadapi masa-masa tanpa job, tapi penulis profesional juga harus mempersiapkan diri menghadapi banjir order. Kesempatan emas itu bisa hilang hanya karena kita gagal menemukan ide di saat-saat yang dibutuhkan. Sayang, kan?

Akhirul kata, apakah itu semua sudah cukup? Belum. Kita akan memasuki tahapan pengembangan ide, menyusun sinopsis, riset, dan seterusnya hingga hasil akhir. Kapan-kapan saja kita bahas. (***)
Baca selengkapnya...